
Produsen di Indonesia secara hukum diwajibkan untuk mengelola sampah, terutama kemasan dan produk yang tidak mudah terurai, sesuai dengan regulasi seperti Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.75/2019. Peraturan ini mewajibkan produsen di sektor manufaktur, layanan makanan dan minuman, serta ritel untuk merencanakan, mengelola, dan melaporkan kegiatan pengurangan sampah. Tanggung jawab ini mencakup material kemasan seperti plastik, kaleng aluminium, kaca, dan kertas. Pada 2024, produsen diharapkan telah sepenuhnya menerapkan langkah-langkah pengurangan sampah. Namun, tantangan masih ada, di mana 40% dari 41,08 juta ton sampah yang dihasilkan setiap tahun masih belum terkelola, dengan sebagian besar berasal dari rumah tangga, pasar, dan bisnis.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa sampah makanan menyumbang hampir 40% dari total sampah, diikuti oleh sampah plastik sebesar 19,1%. Provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah menjadi penyumbang terbesar, dengan total produksi sampah lebih dari 17 juta ton per tahun. Sebagian besar sampah yang tidak terkelola berakhir di tempat pembuangan ilegal, memperparah masalah lingkungan di daerah dengan tingkat produksi sampah yang tinggi. Kondisi ini menegaskan perlunya penegakan regulasi yang lebih ketat serta kolaborasi yang lebih baik antara produsen, pemerintah, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan sampah yang semakin meningkat di Indonesia.